A. Pendahuluan
Industri skincare di Indonesia berkembang pesat, didorong oleh meningkatnya kesadaran
masyarakat akan kesehatan kulit. Namun, peredaran produk skincare yang belum memiliki
izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih sering terjadi. Produk
tanpa izin BPOM berpotensi mengandung bahan berbahaya yang merugikan kesehatan
konsumen. Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana perlindungan
hukum bagi konsumen dapat diberikan, khususnya melalui instrumen hukum perdata.
B. Pembahasan
1. Dasar Hukum Perdata yang Relevan
Beberapa ketentuan hukum yang dapat dijadikan dasar perlindungan konsumen terhadap
produk skincare ilegal antara lain :
1. Pasal 1320 KUH Perdata
Syarat sah perjanjian. Jika konsumen membeli produk skincare, pada dasarnya terjadi
perjanjian jual beli. Namun, karena objek perjanjian (produk) tidak sah yakni tidak
memiliki izin edar dan berpotensi melanggar hukum perjanjian dapat dianggap batal
demi hukum.
2. Pasal 1243 KUH Perdata
Mengatur mengenai ganti rugi akibat wanprestasi. Apabila pelaku usaha menjanjikan
produk aman tetapi ternyata berbahaya, hal ini bisa dikategorikan sebagai
wanprestasi.
3. Pasal 1365 KUH Perdata
Menyatakan bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan orang
lain mewajibkan pelakunya mengganti kerugian. Produksi dan distribusi skincare
tanpa izin BPOM dapat digolongkan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
4. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
○ Pasal 4: Konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang/jasa.
○ Pasal 7: Pelaku usaha wajib menjamin mutu barang/jasa yang diproduksi.
○ Pasal 19: Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerugian konsumen akibat penggunaan barang yang diperdagangkan.
5. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Melarang peredaran produk obat dan kosmetik tanpa izin edar.
2. Analisis Perlindungan Konsumen
● Perjanjian jual beli tidak sah: Karena produk tidak memiliki izin BPOM, maka
objek perjanjian dianggap bertentangan dengan hukum.
● Pertanggungjawaban pelaku usaha: Pelaku usaha yang memasarkan skincare ilegal
dapat digugat secara perdata melalui mekanisme wanprestasi maupun PMH.
● Hak konsumen untuk menggugat: Konsumen berhak menuntut ganti rugi, baik
berupa pengembalian uang, penggantian biaya perawatan kesehatan, maupun
kompensasi atas kerugian fisik/psikis.
● Penyelesaian sengketa: Konsumen dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri, atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
3. Implikasi Hukum
● Jika terbukti bersalah, pelaku usaha wajib membayar ganti rugi (Pasal 1365 KUH
Perdata dan Pasal 19 UUPK).
● Produk tanpa izin BPOM dapat disita dan dilarang peredarannya.
● Selain sanksi perdata, pelaku usaha juga bisa dikenakan sanksi administratif dan
pidana (di luar kajian perdata).
C. Kesimpulan
Peredaran produk skincare tanpa izin BPOM menimbulkan risiko serius bagi konsumen dan
dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 KUH Perdata.
Dari perspektif hukum perdata, konsumen memiliki hak untuk menuntut ganti rugi atas
kerugian yang dialami melalui mekanisme gugatan wanprestasi maupun PMH. Selain itu,
UUPK memberikan perlindungan tambahan dengan menegaskan kewajiban pelaku usaha
untuk menjamin keamanan produk. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap konsumen
dapat diwujudkan melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri atau melalui penyelesaian di
BPSK.